Kamis, 26 Januari 2012

1
REFLEKSI PADA REFLEKSI LESSON STUDY
(SUATU PEMBELAJARAN BERBASIS-METAKOGNISI)
C. Jacob
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Jl. DR. Setiabudhi 229, Bandung, 40154
Email: cjacob@upi.edu ____________________________________________
ABSTRAK
Dalam kelas ideal di mana guru berhasil membangun suatu kelas reflektif, maka guru dan siswa bekerja bersama-sama membangun suatu „kelas reflektif ideal.’ Di sini siswa dilatih pada bagaimana menentukan dan mengorganisasikan informasi serta refleksi pada bagaimana mereka menemukannya melalui diskusi kelompok kecil, kemudian melaporkannya, dan selanjutnya mereka saling sharing menurut pendapat mereka masing-masing, dan akhirnya mereka menyimpulkan di bawah bimbingan gurunya. Dengan demikian, pengetahuan mereka multidimensional dan fleksibel. Mereka tidak hanya belajar tentang apa tetapi juga bagaimana, mengapa, dan kapan mereka melakukannya. Jadi, mereka dapat menjelaskan dengan cepat dan tepat strategi yang digunakan untuk menentukan informasi, mengapa memutuskannya sehingga penting atau tidak penting, dan bagaimana mengorganisasikannya. Kata kunci: Berpikir reflektif, knowing-in-action, reflection-in-action, reflection on reflection-in-action, diskursus kelas. 1. Pengantar Ada empat strategi pembelajaran taklangsung matematika: inquiry, berpikir reflektif, ekspresi kreatif, dan analisis nilai (Post, 1992, h. 38). Dalam masing-masing strategi ini, guru berperan sebagai fasilitator belajar, menekankan proses belajar, dan siswa terlibat secara aktif dalam belajar. Namun, yang diperkenalkan di sini hanyalah berpikir reflektif.
2
1.1 Berpikir Reflektif
Berpikir reflektif didesain untuk memberikan kesempatan belajar secara filosofis, yaitu, untuk memperhatikan, diskusi, dan memperdebatkan isu-isu. Guru matematika dapat berusaha keras untuk membuat kelas suatu lingkungan “aman” di mana siswa merasa bebas untuk spekulasi, hipotesis, dan idea-idea pertanyaan. Sesi berpikir reflektif memberikan siswa kesempatan untuk menganalisis tugas-tugas yang mereka lakukan, atau untuk spekulasi tentang bagaimana suatu rantai peristiwa tertentu dapat mengambil tempat di bawah kondisi tertentu. Berpikir reflektif dan inquiry berbagi idea-idea keterlibatan siswa aktif dalam masalah dan pertanyaan. Mereka berbeda dalam menanyakan inquiry, siswa mencari data yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah berpikir reflektif terhadap pertanyaan. 2. Konstruktivisme
Menurut Graves dan Graves (Jacob, 2001, h. 7) bahwa konstruktivisme adalah suatu posisi filosofis dan psikologis yang banyak berperan apakah individu belajar dan mengerti yang dikonstruk oleh individu. Banyak konstruktivis juga menekankan peranan interaksi sosial (misalnya, guru dengan siswa, siswa dengan siswa) sehingga sangat mempengaruhi apa yang diperoleh siswa. Ada konstruktivis menelaah struktur mental sebagai reflektif realitas eksternal, sedangkan yang lain melihat bukan realitas independen di luar dunia mental individu. Dimensi konstruktivisme sangat berpengaruh pada psikologi dan pendidikan, bagaimanapun, berbagi dengan sebagian besar konstruktivis: idea bahwa siswa aktif dalam mengonstruksi pengetahuan mereka-sendiri dan bahwa interaksi sosial adalah penting untuk konstruk pengetahuan. Tujuan mengajar, dari suatu perspektif konstruktivis adalah tidak banyak memberikan informasi, tetapi cukup untuk mendorong formasi pengetahuan dan mengembangkan proses metakognitif untuk memutuskan, mengorganisasikan, dan memperoleh informasi/pengetahuan baru. Sedangkan pendekatan konstruktivis akan memanifestasikan diri-sendiri di kelas dalam sejumlah cara: dalam memilih materi pembelajaran (misalnya, menggunakan materi yang siswa dapat
3
memanipulasikan atau menggunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya); dalam memilih aktivitas (misalnya, menolong siswa observasi, mengumpulkan data, menguji hipotesis, field trips), berwujud proses kelas (misalnya, menggunakan belajar kooperatif, diskusi), dan dalam usaha untuk mengintegrasikan kurikulum (misalnya, mengembangkan projek long-term thematic dalam suatu kelas yang mengintegrasikan matematika, sains, membaca, dan menulis). Dalam kelas konstruktivis; khususnya, siswa diajarkan untuk merencanakan dan langsung belajar sendiri sampai mungkin ke tingkat yang lebih luas. Guru membantu hanya sebagai pelatih dan fasilitator daripada sebagai sumber utama informasi, siswa didorong berperan aktif dalam belajarnya, tidak pasif. 3. Konstruktivisme Sosial: Faktor-faktor Sosial dalam Konstruk Pengetahuan Penelitian dan teori psikologi kognitif awalnya terfokus pada proses kognitif individu, secara relatif kurang menekankan pada konteks di mana individu berfungsi. Di bawah pengaruh teoris seperti Vygotsky, teori kognitif diperluas dengan mencakup pengakuan pengaruh sosial yang sangat besar pada kognisi. Sebagai konsekuensi, peneliti secara meningkat menaruh perhatian besar terhadap interaksi anak dengan orangtua di rumah, teman di lingkungan sekitar, dan guru di sekolah. Perspektif itu yang membimbing ke arah apa yang disebut konstruktivisme sosial yang menekankan hubungan antara keterampilan, aktivitas, dan gagasan manusia dan pengaruh historis khusus dan aktivitas kultural dari komunitas (Jacob, 2001, h. 4). Perubahan sosial antara individu dilihat sebagai sumber utama pertumbuhan kognitif. Ada dua model konstruktivis sosial menonjol dari pertumbuhan kognitif dan konstruk pengetahuan, yaitu: Pemagangan Rogoff dalam model berpikir (Rogoff’s Apprenticeships in thinking model) dan Model pelaksana reflektif Schön (Schön’s reflective practitioner model) (Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, dalam Jacob, 2005b, h. 4-10). Namun, model pelaksana reflektif Schön yang didiskusikan di sini.
4
3.1 Schön’s reflective practitioner model Schön (1987) mengambil suatu perspektif konstruktivis dialektis pada perkembangan kognitif. Apabila model Rogoff terpusat pada anak, maka Schön interes terutama pada belajar dan mengajar profesi yang membangun pengetahuan dan mengerti pada konsep-konsep kunci: (1) knowing-in-action, (2) reflection-in-action, dan (3) reflection on reflection-in-action (Bruning, Schraw, & Ronning, dalam Jacob, 2005b, h. 4). Knowing-in-action adalah pengetahuan yang bukan diungkapkan dengan kata-kata yang jelas, tetapi melalui tindakan cerdas kita. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui observasi dan refleksi dalam proses belajar-mengajar secara implisit. Singkatnya, misalnya, dalam solusi masalah persamaan kuadrat adalah bagaimana menggunakan: melengkapkan kuadrat, pemfaktoran, dan formula kuadratik untuk memperoleh solusi, bukan menyebutkannya untuk memperoleh solusi. Jadi, knowledge-in-action merupakan kata kunci untuk menggerakkan reflection-in-action, yang merupakan suatu mekanisme kritis untuk perubahan dan pertumbuhan kognitif. Schön (1983) menggunakan istilah knowing-in-action untuk menggambarkan tipe pengetahuan yang melekat dalam tindakan cerdas. Tipe pengetahuan ini muncul dengan berbagai istilah sebagai berikut: (1) Elbaz (1983) menyebutnya sebagai pengetahuan praktis (practical knowledge), (2) Sanders dan McCutcheon (1986) menyebutnya sebagai teori mengajar praktis (practical theories of teaching), (3) Clandinin (1986) menyebutnya sebagai pengetahuan praktis personal (personal practical knowledge), (4) Buchmann (1987) menyebutnya sebagai kecekatan mengajar (falkways of teaching), dan (5) Shulman (1987) menyebutnya kearifan praktik (wisdom of practice) (Dunkin et al., 1992, h. 124). Meskipun tipe pengetahuan ini muncul dengan berbagai istilah, namun mereka mengakui bahwa tipe pengetahuan ini dibangun dari pengalaman personal dan professional, tidak mudah diucapkan oleh guru dan digunakan dalam cara kompleks selama proses perencanaan dan pelaksanaan aktivitas mengajar, dan juga masuk akal dari keputusan yang diambil. Mereka eksplor menggunakan kesan guru sebagai suatu
5
makna mengerti pengetahuan praktisnya. Elbaz (1983), Clandinin (1986), dan Johnston (1990) menggunakan kesan guru dengan menganalisis pengetahuan personal pengalamannya. Selanjutnya, Clandinin (1989) lebih fokus pada kesan dari pengalaman guru pemula. Dengan kata lain, kesan dapat digunakan sebagai salah satu cara mengonseptualisasikan dan mengerti pengetahuan praktis guru. Perspektif penelitian mereka diistilahkan dengan pengetahaun praktis personal untuk menggambarkan tipe pengetahuan yang membimbing praktik guru. Sehingga Connelly dan Clandinin (1988) mendefinisikan pengetahuan praktis personal melekat dalam partisipasi masing-masing individu dalam situasi pendidikan sebagai suatu cara mengetahui situasi pendidikan kehidupan, moral, afektif, dan estetika. Tipe pengetahuan ini tidak ditelaah sebagai suatu cabang tertentu, konsep stabil yang digunakan untuk praktik, tetapi lebih sebagai sesuatu pengetahuan yang sementara, subjeknya berubah-ubah, dan pengalaman memuat nilai dengan tujuan tertentu dan berorientasi pada praktik (Clandinin, 1986, h. 19-20).
3.1.1 Reflection-in-action. Reflection-in-action adalah kesadaran gagasan tentang tindakkan kita dan berpikir kita yang menyertai gagasan itu. Reflection-in-action adalah suatu bentuk metakognisi. Metakognisi berkaitan dengan pengetahuan orang tentang proses berpikir diri mereka-sendiri. Menurut Brown (1980, 1986, 1987) metakognisi mencakup dua dimensi: (1) pengetahuan kognisi, dan (2) regulasi kognisi. Pengetahuan kognisi berkaitan dengan apa yang kita ketahui; sedangkan regulasi kognisi berkaitan dengan bagaimana kita mengatur kognisi. Pengetahuan kognisi mencakup tiga komponen: (1) pengetahuan deklaratif berkaitan dengan pengetahuan tentang diri kita-sendiri sebagai pelajar dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja kita; (2) pengetahuan prosedural berkaitan dengan strategi; (3) pengetahuan kondisional berkaitan dengan mengetahui kapan atau mengapa menggunakan suatu strategi (Brown, 1987; Jacobs & Paris, 1987; Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, dalam Jacob, 2005b, h. 8). Hasil temuan mengungkapkan bahwa program pelatihan pembelajaran mempertinggi perkembangan dan penggunaan pengetahuan metakognitif
6
di antara anak berumur-elementer (Paris, Cross, & Lipen, 1984; Paris & Jacobs, 1984; Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, dalam Jacob, 2004, h. 8). Temuan lain dari penelitian ini adalah pengetahuan metakognitif di antara siswa senior tidak dapat stabil; sedangkan menurut Brown bahwa pengetahuan kognisi biasanya dapat stabil dan terlambat berkembang. Regulasi kognisi mencakup tiga komponen: (1) perencanaan meliputi memilih strategi yang tepat dan alokasi sumber; mencakup setting tujuan, mengaktifkan pengetahuan latar belakang yang sesuai, waktu, dan pembiayaan; (2) Regulasi meliputi monitoring dan keterampilan menguji diri-sendiri diperlukan untuk kontrol belajar. Aktivitas yang tercakup adalah membuat prediksi atau berhenti sebentar sementara membaca, mengurutkan strategi, dan memilih strategi perbaikan yang tepat; (3) evaluasi meliputi product dan proses regulatory dari salah satu belajar. Contoh khusus adalah mengevaluasi kembali salah satu tujuan, merevisi prediksi, dan mengonsolidasikan keuntungan intelektual. Hasil temuan dalam program pelatihan tentang kognisi dari beberapa penelitian dapat dirangkum sebagai berikut: (1) siswa remaja hanya dapat memiliki sejumlah pengetahuan metakognitif terbatas pada penyelesaian mereka; pengetahuan metakognitif memperbaiki kinerja, pengetahuan metakognitif dapat meningkat apabila dilatih dengan mantap bagi siswa remaja; (2) kecerdasan dan pengetahuan mendorong pengetahuan metakognitif cukup meningkat daripada yang diharapkan; sehingga guru dapat menciptakan kondisi pelatihan bagi siswanya yang kurang berhasil bilamana perlu; (3) perlu keseimbangan antara siswa yang memiliki kesadaran metakognitif bagi yang berkemampuan rendah dan tidak cukup pengetahuan; (4) mengembangkan keterampilan metakognitif secara khusus yang dapat berguna bagi siswa yang berusaha untuk belajar konten yang tidak disukainya (Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, dalam Jacob, 2004, h. 9). Misalnya, melakukan refleksi setelah salah seorang guru model selesai mengajar dalam kegiatan lesson study di mana masing-masing observer memberikan umpan-balik untuk memperbaiki dan bahkan meningkatkan kualitas mengajar guru,
7
dan hal-hal lain yang konstruktif terutama dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan belajar siswa secara efektif.
3.1.2 Reflection on reflection-in-action. Semua konstruk dan rekonstruk dunia kognitif kita seperti yang kita alami dalam kehidupan dan merefleksikannya. Misalnya, guru membantu siswa dalam mengonstruk pengetahuan barunya, berarti ia terampil dapat membantu siswa melakukannya. Schön (1987) mengatakan proses seperti ini sebagai reflection on reflection-in-action. Dengan reflection on reflection-in-action, Schön berbicara tentang kapasitas metakognitif dari guru terampil untuk membantu siswa berpikir tentang reflection-in-action diri mereka-sendiri. Guru terampil, dengan kata lain, membantu siswa untuk mengembangkan reflection-in-action, yaitu, dengan cerdas membimbing gagasan tindakan mereka dan untuk memutuskan kecukupannya. Tujuan guru adalah benar-benar merangsang-berpikir (thought-provoking) (Schön dalam Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 224). Secara ideal, guru mengembangkan suatu setting interaktif di mana guru dan siswa adalah co-learners, tetapi self-discovery siswa memiliki prioritas tertinggi. Menurut Schön, siswa tidak dapat diajarkan apa yang mereka butuhkan untuk mengetahui, tetapi mereka dapat dilatih untuk self-understanding. Sehingga, Schön juga menekankan konstruktivisme dialektis, konstruktivisme sosial, dan sebagian besar menolak exogenous constructivism. Dalam reflection on reflection-in-action ini, guru mengembangkan suatu situasi di mana siswa harus bertindak, dan guru harus membantu konstruk suatu percakapan reflektif (reflective conversation) (Schön, 1987, h. 76) seputar pengalaman siswa terhadap situasi. Dalam percakapan ini, guru merefleksikan gagasan mendalam-nya dan memberikan kepada siswa kesempatan untuk mengekspresikannya. Singkatnya, Schön merefleksikan sudut pandang konstruktivis dengan memerankan belajar sebagai suatu proses interaktif-sosial di mana siswa dibantu untuk mengembangkan mengerti baru. Tujuan kunci reflection-in-action siswa adalah refleksi metakognitif pada peristiwa atau variasi yang tidak diharapkan dalam fenomena dan berpikir yang berperan terhadapnya.
8
Dalam telaah Schön, siswa belajar apabila mereka bertindak dan dibantu untuk berpikir tentang tindakannya. 4. Peranan Diskursus Kelas dalam Konstruk Pengetahuan
Diskursus adalah suatu istilah umum tentang bahasa terstruktur, urutan bahasa yang berkaitan secara logis. Dalam diskursus, proposisi dengan pengertian hubungan satu dengan yang lain secara kontekstual. Sehingga, diskursus memiliki sifat koherensi, di mana referensi ke depan dan ke belakang memberikan pengertian hubungan satu dengan yang lain secara kontekstual. Sehingga diskursus memiliki sifat hubungan koherensi, di mana referensi ke depan dan ke belakang memberikan pengertian terhadap elemen individu. Suatu percakapan adalah suatu contoh diskursus, seperti suatu essay, suatu cerita pendek, suatu novel, dan diskusi kelas. Apabila peneliti menggunakan istilah diskursus kelas, maka bermakna saling bertukar pikiran secara lisan di kelas. Sehingga, peneliti secara meningkat memperhatikan kualitas diskursus kelas untuk menjadi salah satu dari sebagian besar elemen kritis dalam pendidikan yang diterima di sekolah efektif (misalnya, Calfee et al., 1984; Nystrand & Gamoran, 1991; O‟Flahavan, Wiencek, Marks, & Stein, 1994, dalam Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 225). Mereka mengusulkan bahwa diskursus kelas adalah suatu diskursus utama di mana guru membimbing, mengorganisasikan, dan mengarahkan aktivitas siswanya. Sehingga, Rogoff dan Schön, serta peneliti-peneliti lainnya menelaah belajar sebagai suatu proses konstruktif di mana perubahan sosial dengan yang lainnya fundamental bagi konstruksi pengertian siswa. Selanjutnya, Hull dan rekan-rekannya (Hull et al., 1991) menyatakan: “Dalam kelas, diskursus melalui percakapan adalah belajar yang diperoleh dengan melakukan, dan pengetahuan yang diperoleh dengan berbuat” (Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 225). Telaah ini diterjemahkan ke dalam penelitian yang bertujuan menentukan struktur diskursus dan menggunakan diskursus kelas mengembangkan belajar terbaik (misalnya, Calfee et al., 1984; Chinn & Waggoner, 1992; Hull et al.,
9
1991; O‟Flahavan et al., 1994, dalam Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 226).
4.1 Diskursus suatu kelas yang lebih reflektif
Pertumbuhan kognitif siswa merupakan pemeliharaan terbaik dalam suatu lingkungan sosial di mana siswa berpartisipasi aktif di mana mereka dibantu untuk merefleksikan pada apa yang mereka pelajari. Bagi guru, dengan mengembangkan suatu kelas reflektif di mana siswa membangun pengetahuan baru dan belajar untuk mengelola belajar mereka-sendiri, mereka tentu saja masih membutuhkan guru untuk memperluas diskursus kelas melebihi hafalan IRE (Initiate, Respond, Evaluate) dan diskusi tipe-IRE di mana menggilirkan perubahan-pengambilan (turn-taking) antara guru dan siswa. Selanjutnya, Calfee et al. (1994) mengusulkan suatu model pengajaran adalah suatu model di mana cara diskusi dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan dan berpikir reflektif apabila melibatkan siswa yang disebut model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Exending) (Calfee, Chambliss, & Beretz, 1991; Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, dalam Jacob, 2005b, h. 13-15). Connecting, yaitu diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Pengetahuan yang berguna adalah kontekstual, dihubungkan dengan apa yang telah siswa ketahui. Diskusi yang baik digambarkan pada domain dan pengetahuan umum sebelum siswa ketahui dan membolehkan mereka untuk berbagi apa yang mereka ketahui tentang pola diskursus mereka. Untuk mengambil bagian secara efektif dalam diskusi, siswa harus mengingat informasi dan menggunakan pengetahuan metakognitifnya untuk menghubungkan dan menyusun idea-ideanya. Siswa belajar diskusi yang baik memiliki koherensi. Organizing, yaitu diskusi membantu mengorganisasikan pengetahuan. Konstruksi pengetahuan, bukan merupakan hal sederhana dari fakta-fakta khusus yang terkumpul atau lengkap yang mengembangkan informasi baru. Hal ini juga meliputi mengorganisasikan informasi lama ke dalam bentuk-bentuk baru. Diskusi secara unik yang sesuai untuk membantu tujuan ini. Sebagai partisipan berusaha keras untuk mengerti dan kontribusi terhadap diskusi, mereka dikuatkan dengan menghubungkan dan
10
mengorganisasikan apa yang mereka ketahui. Reflecting, yaitu diskusi yang baik dapat meningkatkan berpikir reflektif. Diskusi memajukan banyak kesempatan bagi siswa dengan lebih belajar kesadaran metakognitif tentang kualitas berpikirnya dan untuk belajar keterampilan dengan meregulasi berpikir dan bertindak mereka. Seperti semua diskursus, diskusi membutuhkan partisipan untuk berpikir eksternal. Merepresentasikan, mengoranisasikan, mengklarifikasi, dan mempertahankan, mendorong idea-idea proses kognitif siswa ke dalam keterbukaan (into the open). Reaksi dari pola diskusi menentukan umpan-balik pada apakah mereka meyakinkan dan bertalian secara logis. Guru, dengan melatih sebelum dan sesudah diskusi dan dengan mengadopsi peranan yang membolehkan mereka untuk menggantungkan berpikir siswa sebagai kebutuhan selama diskusi, dapat mempengaruhi secara signifikan kemampuan siswa dengan merefleksikan pada interaksi dan pada substansi berpikirnya (O‟Flahavan & Stein, 1992, dalam Bruning, Schraw, & Ronning, 1995, h. 228). Extending, yaitu diskusi membantu memperluas pengetahuan. Seperti karya siswa pada projek jangka pajang, diskursus mereka dapat berperan baik secara natural ke dalam domain baru. Guthrie (1993) mengobservasi bahwa diskursus siswa pada suatu topik (blan dan fasenya) dngan cepat diprluas ke dlam berbagai topik yang berhubungan.. Pengetahuan deklaratif dan prosdural siswa diperluas dengan cepat sehingga meeka meneliti terhadap jawaban atas pertanyaan yang mereka miliki; pengetahuan metakognitif meningkat sehingga strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi bersama tman-tmannya dan dengan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-teman sekelasnya. 5. Mengembangkan Belajar Efektif dan Strategi Studi
Belajar matematika termasuk suatu proses kognitif kompleks yang meliputi aktivitas metakognitif. Siswa belajar matematika secara bertahap meningkat mulai dari SD-SMP-SMA-PT; tugas-tugas belajar mereka semakin meningkat dan semakin kompleks serta menantang (misalnya, Eccles & Widgley, 1989; J. Wilson, 1988; Ormrod, 1995, dalam Jacob, 2000b, h. 445). Misalnya, siswa harus mengingat banyak informasi, banyak melakukannya
11
(dalam istilah aplikasi, pemecahan masalah, analisis kritis, dll.), dan mengerti pada suatu tingkat yang lebih abstrak. Sehingga, ada suatu kebutuhan besar untuk belajar rumit dan strategi studi sepanjang tahun akademik (Baker, 1988, dalam Ormrod, 1995, h. 362). Sayang, apabila mengajar materi pelajaran kompleks, guru jarang mengajar strategi efektif untuk belajar materi tersebut (Pressley et al., 1990; J. Wilson, 1988; Ormrod, 1995, dalam Jacob, 2000b: 446). Namun, apabila dibiarkan untuk mereka menemukan sendiri, khususnya siswa memperoleh strategi efektif yang lamban (jika ada), dan beberapa siswa mengembangkan miskonsepsi kontraproduktif tentang bagaimana sebaiknya untuk belajar (misalnya, Alexander & Judy, 1988; Kail, 1988, dalam Jacob, 2000b, h. 446). Banyak teoris mengusulkan bahwa sekolah menentukan pengajaran eksplisit bagaimana untuk studi dan belajar (misalnya, Brown & Campione, dalam pers; Kail, 1990; Pressley et al., 1990; Schoenfeld, 1985b; West, Farmer, Wolff, 1991, dalam Jacob, 2000b, h. 447). 6. Kefektivan Pelatihan Keterampilan Studi
Pada awalnya, sebagian besar program didesain untuk memperbaiki pengetahuan dan keterampilan metakognitif pada tingkat PT (J. Wilson, 1988, dalam Ormrod, 1995, h. 363). Tetapi kini program itu dilaksanakan di SD, SMP, dan SMA. Hasil kolektif dari program ini menyatakan bahwa siswa dapat diajarkan belajar lebih efektif dan strategi studi, dengan konsekuen perbaikan dalam prestasi kelas mereka dan prestasi akademik; sehingga pelatihan muncul menjadi bermanfaat secara khusus bagi siswa yang berkemampuan rendah (Baker, 1989; Cook, 1983; Dansereau, 1978; Dansereau et al., 1979; Heller et al., 1988; Hamsen & Pearson, 1983; Holley & Dansereau, 1984; Kulik & Shwalb, 1983; Linden & Wittrock, 1981; Mastropieri & Cruggs, 1989; Palincsar & Brown, 1984, 1989; Paris, Cross, & Lipson, 1984; Pressley, 1982; Pressley, Borkwski, & Segneider, 1987; Shrager & Mayer, 1989; Wade, 1983; Weinstein, Goetz, & Alexander, 1988; Weinstein, Hagen, & Meyer, 1991; J. Wilson, 1988; Ormrod, 1995, dalam Jacob, 2003c, h. 6). Program efektif cenderung beraneka ragam dalam mengajar berbagai belajar dan strategi khusus, namun umumnya
12
mencakup pengajaran tentang: belajar bermakna, strategi organisasional, elaborasi, menghafal, membuat catatan, dan merangkum. Di samping komunalitas, program pelatihan sering berbeda dengan sangat menyolok dari satu program dengan program lainnya; anda diminta untuk menyelidiki beberapa kemungkinan dengan mengonsultasikan perspektif belajar dan berpikir secara filosofis dan edukatif, seperti, konstruktivisme ataukah pandangan yang lainnya.
REFERENSI
Anderson, L. W. (1989). The effective teacher: Study guide and reading. New York: McGraw-Hill Book Company. Baroody, A. J. (1993). Problem solving, reasoning, and communicating, (K-8): Helping children think mathematically. New York: Merrill, an imprint of MacMillan Publishing Company. Barnes, C. A. (1992). Critical thinking: Educational imperative. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Beyer, B. K. (1991). Teaching thinking skills: A handbook for elementary school teachers. Boston: Allyn and Bacon. Bruning, R. H., Schraw, G. J., & Ronning, R. R. (1995). Cognitive psychology and instruction (2nd ed.). Englewood Cliffs: Merrill, an imprint of Prentice-Hall. Ellis, A. K. (1992). Planning for mathematics instruction. In Th. R. Post (Ed.), Teaching Mathematics in Grades K-8: Research-Based Methods (pp. 23-48). Boston: Allyn and Bacon. Ennis, R. H. (1996). Critical thinking. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River NJ 07458. Eysenck, M. W., Green, S., & Hayes, N. (1993). Principles of cognitive psychology. Hillsdale: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Glass, A. L., & Holyoak, K. J. (1986). Cognition (2nd ed.). Auckland: McGraw-Hill International.
13
Jacob, C. (2000a). Mengajar berpikir kritis: Suatu upaya meningkatkan efektivitas belajar matematika. Majalah Ilmiah Matematika Indonesia (Journal of Indonesian Mathematical Society), 6(5), 595-598. Jacob, C. (2000b). Belajar bagaimana untuk belajar matematika: Suatu telaah strategi belajar efektif (Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peran Matematika Memasuki Milenium III), 443-447. Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA ITS. Jacob, C. (April 2001). Pembelajaran matematika berbasis konstruktivisme. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pembelajaran dan Pengembangan Matematika dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Jurusan Matematika FMIPA UNY. Jacob, C. (2003a). Pembelajaran matematika berbasis konstruktivisme sosial: Suatu telaah historis dan filsafat. Jurnal Matematika Integratif, 2, 163-169. Bandung: Jurusan Matematika FMIPA UNPAD. Jacob, C. (2003b). Mengajar keterampilan metakognitif dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kemampuan belajar matematika. Jurnal Matematika, Aplikasi dan Pembelajarannya (JMAP), 2(1), 17-20. Jakarta: Jurusan Matematika FMIPA UNJ. Jacob, C. (2003c). Pengaruh mengajar keterampilan metakognitif kepada siswa dengan kemampuan matematika rendah (Laporan Hasil Hibah Penelitian Projek DUE-LIKE Tahun 2003). Bandung: UPI. Jacob, C. (2003d). Pengembangan model pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif pada topik persamaan kuadrat di SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang (Laporan Piloting). Bandung: FPMIPA UPI. Jacob, C. (2004). Pengembangan model pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif pada topik sistem persamaan linear di SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: FPMIPA UPI.
14
Jacob, C. (Agustus 2005a). Perencanaan program keterampilan berpikir kritis: Suatu telaah teoretis dan praktis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Jacob, C. (2005b). Pengembangan model ‘CORE’ dalam pembelajaran logika dengan pendekatan ‘Reciprocal Teaching’ bagi siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang (Laporan Piloting). Bandung: FPMIPA UPI. Jacob, C. (Agustus, 2006). Guru sebagai peneliti dalam pendidikan matematika: Suatu upaya meningkatkan kualitas mengajar. Makalah disajikan pada Konferensi Internasional Bersama UPI-UPSI. Progam Pendidikan Guru untuk Abad-21: Jawaban terhadap Tantangan Global (Teacher Education Program for 21st Century: Responses to Global Changes). Bandu g: Universitas Pendidikan Indonesia. Johnston, S. (1992). Image: A way of understanding the practical knowledge of student teachers. In M. J. Dunkin and N. L. Gage (Eds.), An international journal of research and studies (pp. 123-135). Oxford: Pergamon Press. Marzano, R. J., Brant, R. S., Hughes, C. S., Jones, B. F., Presseisen, B. S., Rankin, S. C., & Suhor, Ch. (1988). Dimensions of thinking: A framework for Curriculum and instruction. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Matlin, M. W. (1994). Cognition (3rd ed.). Fort Worth: Harcourt Brace Publishers. Meyer, Ch. (1986). Teaching students to think critically. San Francisco Jossey-Bass Publishers. Ormrod, J. E. (1995). Hman leaning (2nd ed.). Englewood Cliffs: Merrill, an Imprint of Prentice Hall. Patricia, S. W. (Ed.). (1993). Research ideas for the classroom: High school Mathematics. New York: MacMillan Publishing Company.
15
Sharples, J., & Mathews, B. (1989). Learning how to learn: Investigating Effective learning strategies. Victoria: Office of School Adminstration Ministry of Education.
1
PRINSIP MAKSIMUM DAN MINIMUM
FUNGSI PANHARMONIK
Oleh,
Endang Cahya M.A.
Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI Bandung
Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung
E-mail ecma@dns.math.itb.ac.id
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan prinsip maksimum dan minimum fungsi panharmonik
baik yang bernilai real maupun yang bernilai kompleks. Metoda pembuktian yang
digunakan adalah perhitungan kalkulus biasa untuk fungsi dua peubah. Sedangkan untuk
fungsi panharmonik bernilai kompleks digunakan prinsip rotasi.
1. Pendahuluan
Sebuah fungsi u = u(x,y)di C2( ) disebut fungsi panharmonik jika u
memenuhi persamaan Yukawa
u
x
u
x
u 2
2
2
2
2
(1)
untuk suatu konstanta real dan himpunan buka di 2. Fungsi panharmonik u disebut
panharmonik pada himpunan tutup jika u panharmonik pada interiornya dan kontinu pada
batasnya.
Makalah ini memberikan bukti baru terhadap beberapa hasil survey yang ada pada
literatur dan juga memberikan beberapa hasil yang baru. Pendekatan yang digunakan
disini serupa dengan pendekatan yang dikembangkan atau digunakan untuk fungsi
harmonik. Hal ini dilakukan hanya karena ada kemiripan bentuk antara persamaan
Laplace dan persamaan Yukawa.
Kajian pertama diawali dengan fakta perhitungan nilai maksimum dan minimum
fungsi panharmonik pada suatu cakram, yang selanjutnya akan digunakan sebagai
langkah awal dugaan umum mengenai prinsip maksimum dan minimum fungsi
panharmonik. Berikutnya juga dibahas mengenai nilai maksimum modulus fungsi
panharmonik bernilai kompleks.
2
2. Prinsip Maksimum dan Minimum Fungsi Panharmonik
Untuk mengkaji masalah nilai maksimum dan minimum fungsi panharmonik,
marilah kita lihat gagasan yang muncul dari fakta berikut. Berikut ini teorema dari
Duffin, untuk bukti lihat [2], hal 115.
Teorema 1 Jika u(r, ) fungsi panharmonik pada cakram x2 + y2 a, maka untuk 0 r
a,
in
n
n
n u(r, ) c I ( r)e (2)
dimana
2
0
( , ) .
2 ( )
1
u a e d
I a
c in
n
n
Di sini In merupakan fungsi Bessel termodifikasi jenis pertama, dengan
( ),
! 2
1
( ) x
x
n
I x n
n
n (3)
dan
...
1.2( 1)( 2)
2
1.( 1)
2
( ) 1
2 4
n n
x
n
x
x n (4)
Dapat ditunjukan bahwa untuk masing-masing n, in
n I ( r)e merupakan solusi
persamaan (1) dan secara khusus, ( ) 0 r merupakan solusi positif dari persamaan (1).
Dari teorema diatas, mari kita tinjau jika nilai batas u konstan, sebut saja u(a, ) = k,
untuk suatu konstanta real k. Maka masing-masing koefisien cn akan menjadi
0 , 0
, 0
( ) 0
n
n
a
k
cn
dan
( ).
( )
( , ) 0
0
I r
a
k
u r (5)
Melalui persamaan (5) ini, kita tinjau dua kasus. Pertama, jika k > 0, maka
u(r, ) > 0. Untuk setiap dan r, dengan 0 r a. Nilai maksimum u akan dicapai
jika r = a, yaitu u(r, ) = k dan nilai minimum akan dicapai jika r = 0. Ini mengatakan
3
bahwa nilai minimum u terjadi tidak di batas cakram dan nilai maksimum terjadi di batas
cakram. Kasus kedua, jika k < 0 maka u(r, ) < 0 untuk setiap dan r, dengan 0 r a.
Nilai minimum u akan dicapai di batas cakram yaitu r = a dan nilai maksimum dicapai di
pusat cakram. Ini mengatakan bahwa nilai minimum u terjadi di batas cakram dan nilai
maksimum tidak tejadi di batas.
Dari kedua kasus ini, dugaan mengenai tempat terjadinya nilai maksimum dan
nilai minimum untuk fungsi panharmonik berbeda dengan tempat terjadinya nilai
maksimum dan nilai minimum untuk fungsi harmonik.
2.1. Prinsip Maksimum
Hasil pertama yang diperoleh dari gambaran di atas diformulasikan dalam
teorema berikut.
Teorema 2 Misalkan himpunan buka terhubung sederhana, dan u fungsi
panharmonik pada . Jika nilai maksimum u positif maka nilai maksimum tersebut
akan dicapai di batas .
Bukti Andaikan ada x di dalam sehingga u(x) 0,u (x)u (x) u (x) 0, xx yy xy dan
u x Maka xx ( ) 0. u (x)u (x) u (x) 0, xx yy xy tetapi u (x) 0 xx akibatnya haruslah
u (x) 0 yy . Karena itu, u(x) 0. Ini bertentangan dengan yang diketahui. Dengan
demikian dapat disimpulkan, tidak ada x dalam yang memberikan nilai maksimum,
karena itu haruslah x ada di batas .
Teorema di atas memberikan akibat untuk fungsi panharmonik positif.
Akibat 1 Misalkan u fungsi panharmonik positif pada , maka nilai maksimum u
dicapai di batas .
Bukti Karena u panharmonik positif maka nilai maksimum u juga positif. Berdasarkan
Teorema 2 maka nilai maksimum u terjadi di batas .
Akibat 2 Misalkan u fungsi panharmonik tak negatif pada suatu himpunan buka
terhubung sederhana . Jika u mencapai nilai maksimum di dalam , maka haruslah
u fungsi konstan. (dalam hal ini haruslah u fungsi nol).
Bukti Lihat [1] dan [3].
4
Selanjutnya, akan dilihat fungsi panharmonik tak negatif pada suatu himpunan buka
terhubung sederhana dan terbatas di 2, dan mungkin fungsi tersebut tidak kontinu pada
batasnya.
Akibat 3 Misalkan himpunan buka terhubung sederhana dan terbatas di 2.
Misalkan u fungsi panharmonik tak negatif pada , dan misalkan ada konstnta M > 0
sehingga
u b M k
k
limsup ( )
untuk setiap barisan (bk) di yang konvergen ke suatu titik di batas . Maka u < M
pada .
Bukti Misalkan M’ = sup{u(x):x }, dan pilih barisan (bk) di sehingga u(bk)
konvergen ke M’. Dari sini, ada dua kasus yang perlu diperhatikan. Pertama, jika (bk)
memiliki subbarisan yang konvergen ke suatu titik b di dalam , maka u(b) = M’.
Dengan prinsip maksimum fungsi panharmonik tak negatif, maka u = M’ pada . Untuk
kasus kedua, jika tidak ada subbarisan dari (bk) yang konvergen kesuatu titik di dalam
maka (bk) memiliki subbarisan (ak) yang konvergen ke suatu titik pada batas , sebut
saja titik tersebut a, maka u(a) = M’. Ini mengakibatkan u M’. Dengan demikian , dari
kedua kasus ini, kita peroleh u < M pada .
2.2 Prinsip Minimum
Prinsip maksimum di atas, cenderung lebih tepat bila digunakan pada fungsi
panharmonik positif, akan tetapi prinsip inipun akan berimplikasi juga untuk fungsi
panharmonik negatif.
Teorema 3 Misalkan himpunan buka terhubung sederhana, dan u fungsi
panharmonik pada . Jika nilai minimum u negatif maka nilai minimum tersebut akan
dicapai di batas .
Bukti Andaikan ada x di dalam sehingga u(x) 0,u (x)u (x) u (x) 0, xx yy xy dan
u x Maka xx ( ) 0. u (x)u (x) u (x) 0, xx yy xy tetapi u (x) 0 xx akibatnya haruslah
u (x) 0 yy . Karena itu, u(x) 0. Ini bertentangan dengan yang diketahui. Dengan
demikian dapat disimpulkan, tidak ada x dalam yang memberikan nilai minimum
negatif, karena itu haruslah x ada di batas .
Akibat 4 Misalkan u fungsi panharmonik negatif pada , maka nilai maksimum u
dicapai di batas .
Bukti Karena u panharmonik negatif maka nilai minimum u juga negatif. Berdasarkan
Teorema 3 maka nilai minimum u terjadi di batas .
5
Akibat 5 Misalkan u fungsi panharmonik tak positif pada suatu himpunan buka
terhubung sederhana . Jika u mencapai nilai minimum di dalam , maka haruslah u
fungsi konstan. (dalam hal ini haruslah u fungsi nol).
Bukti Lihat [1] dan [3].
Selanjutnya, akan dilihat fungsi panharmonik tak positif pada suatu himpunan buka
terhubung sederhana dan terbatas di 2, dan mungkin fungsi tersebut tidak kontinu pada
batasnya.
Akibat 3 Misalkan himpunan buka terhubung sederhana dan terbatas di 2.
Misalkan u fungsi panharmonik tak positif pada , dan misalkan ada konstnta M < 0
sehingga
u b M k
k
liminf ( )
untuk setiap barisan (bk) di yang konvergen ke suatu titik di batas . Maka u > M
pada .
Bukti Misalkan M’ = inf {u(x):x }, dan pilih barisan (bk) di sehingga u(bk)
konvergen ke M’. Dari sini, ada dua kasus yang perlu diperhatikan. Pertama, jika (bk)
memiliki subbarisan yang konvergen ke suatu titik b di dalam , maka u(b) = M’.
Dengan prinsip minimum fungsi panharmonik tak positif, maka u = M’ pada . Untuk
kasus kedua, jika tidak ada subbarisan dari (bk) yang konvergen kesuatu titik di dalam
maka (bk) memiliki subbarisan (ak) yang konvergen ke suatu titik pada batas , sebut
saja titik tersebut a, maka u(a) = M’. Ini mengakibatkan u M’. Dengan demikian , dari
kedua kasus ini, kita peroleh u > M pada .
Selanjutnya akan kita lihat nilai fungsi panharmonik di suatu titik dalam, pada
suatu daerah kompak melalui penyajian integral fungsi panharmonik pada suatu cakram.
Hasil ini diperoleh sebagai implikasi dari prinsip maksimum dan minimum fungsi
panharmonikdi atas. Untuk itu terlebih dulu perhatikan penyajian integral berikut, dan
untuk bukti dapat dilihat pada [2] hal. 111.
Teorema 4 Misalkan u fungsi panharmonik pada cakram (x-x0)2+(y-y0)2 a2, maka
( cos , sin ) .
2 ( )
1
( , )
2
0
0 0
0
0 0 u x a y a d
a
u x y (6)
6
Berikut ini salah satu hasil yang telah dikemukakan Duffin dalam [2], dan pada tulisan ini
akan dibuktikan kembali dengan menggunakan prinsip maksimum fungsi panharmonik
positif yang telah dikemukakan di atas.
Akibat 7 Misalkan u fungsi panharmonik tak negatif pada daerah kompak . Jika
u M pada batas untuk suatu konstanta M > 0, dan x suatu titik interior , maka
,
( )
( )
0 a
M
u x
dimana a adalah jarak terdekat dari x terhadap batas .
Bukti Misalkan x =(x0,y0) sembarang titik interior . Kemudian buat cakram
(x-x0)2+(y-y0)2 a2, dimana a adalah jarak terdekat dari x terhadap batas . Maka kita
punya (6). Karena 0 u M pada batas , maka ini juga berlaku pada cakram cakram
(x-x0)2+(y-y0)2 a2 di dalam , karena itu (6) akan menjadi
.
( )
( )
0 a
M
u x
Selanjutnya sebagai implikasi dari prinsip minimum fungsi panharmonik, kita turunkan
sifat fungsi panharmonik seperti pada Akibat 7 untuk fungsi panharmonik tak positif.
Akibat 8 Misalkan u fungsi panharmonik tak positif pada daerah kompak . Jika u M
pada batas untuk suatu konstanta M < 0, dan x suatu titik interior , maka
,
( )
( )
0 a
M
u x
dimana a adalah jarak terdekat dari x terhadap batas .
Bukti Misalkan x =(x0,y0) sembarang titik interior . Kemudian buat cakram (xx0)
2+(y-y0)2 a2, dimana a adalah jarak terdekat dari x terhadap batas . Maka dari
sini kita punya (6). Karena M u 0 pada batas , maka ini juga berlaku pada
cakram (x-x0)2+(y-y0)2 a2 di dalam , karena itu (6) akan menjadi
.
( )
( )
0 a
M
u x
Untuk lebih memperjelas prinsip maksimum dan minimum di atas, dapat dilihat contoh
berikut.
Contoh 1 Misalkan u(x,y)=cosh x pada cakram D(0,R). Jelas u panharmonik. Nilai
maksimum u akan dicapai dibatas cakram yaitu di titik (-R,0) dan (R,0). Sedangkan nilai
minimum dicapai di sepanjang garis x=0 pada cakram D(0,R).
7
Contoh 2 Misalkan u(x,y)=sinh x pada cakram D(0,R). Jelas u fungsi panharmonik,
dengan nilai maksimum dan minimum dicapai dibatas cakram D(0,R) yaitu di titik (R,0)
dan (-R,0).
2.3 Fungsi Panharmonik Bernilai Kompleks
Fungsi panharmonik yang telah dibahas di atas adalah fungsi panharmonik bernilai real.
Berikut ini akan dibahas mengenai fungsi panharmonik bernilai kompleks. Seperti
definisi pada fungsi panharmonik bernilai real, maka untuk fungsi panharmonik bernilai
kompleks f didefinisikan sebagai fungsi kontinu yang memenuhi persamaan (1).
Teorema 5 Misalkan f(z)=u(x,y)+iv(x,y) fungsi bernilai kompleks di C2( ). Fungsi f
panharmonik jika dan hanya jika u dan v panharmonik.
Bukti Misalkan f(z)=u(x,y)+iv(x,y) panharmonik pada , maka fxx + fyy=uxx + ivxx + uyy
+ ivyy=(uxx + uyy)+ivxx+ ivyy= 2(u+iv)= 2f. Jadi uxx + uyy= 2u dan vxx+ vyy= 2v.
Akibat 9 Misalkan f fungsi panharmonik bernilai kompleks dan c suatu konstanta
kompleks. Maka cf juga fungsi panharmonik.
Teorema 6 Jika u fungsi panharmonik bernilai kompleks pada , dan kontinu pada
maka u mencapai nilai maksimum di pada batasnya.
Bukti Andaikan u mencapai nilai maksimum di suatu titik a di dalam , sebut saja
u(a) M. Selanjutnya pilih bilangan kompleks b sehingga b 1 dan bu(a) = M. Maka
fungsi panharmonik bernilai real Re(bu) akan mencapai nilai maksimum M di suatu titik
a di dalam . Ini bertentangan dengan prinsip maksimum fungsi panharmonik. Jadi
haruslah u mencapai nilai maksimum pada batas .
Contoh 3 Misalkan u(x,y) = e x + i e- x pada cakram D(0,R). Maka
2cosh2 . 2 2 u e e x x x Dari sini bisa dihitung bahwa nilai maksimum u akan
dicapai di batas cakram, yaitu (-R,0) dan (R,0), dan nilai minimum u akan dicapai
disepanjang garis x=0 pada cakram D(0,R).
8
Melihat kenyataan contoh 3 di atas, maka nilai minimum u secara umum tidak terjadi di
batas. Secara keseluruhan prinsip maksimum dan minimum fungsi panharmonik berbeda
dengan prinsip maksimum dan minimum fungsi harmonik.
Daftar Pustaka
[1] E. Cahya, Panharmonics Functions (dalam persiapan publikasi).
[2] R.J. Duffin, Yukawa Potential Theory, J. Math. Anal. Appl. 35(1971).104-130.
[3] W. Setyabudhi, Fungsi Panharmonik di Cakram, MIHMI 6(2000). 119-124.
[4] S. Axler, P. Bourdon, W. Ramey, Harmonic Function Theory, Springer Verlag, New
York, 1992.
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 25
Pandangan Guru Matematika Sekolah Lanjutan Terhadap
Pendekatan Pemecahan Masalah Matematika
Drs. Jarnawi Afgani D., M.Si.
Drs. Eka Fitrajaya R.
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Abstrak
Sebagaimana kita ketahui bahwa kurikulum berbasis kompetensi memfokuskan pembelajaran matematika melalui
pendekatan pemecahan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan guru terhadap
pembelajaran matematika melalui penedekatan pemecahan masalah. Subyek sampel pada penelitian ini berjumlah 72
orang guru. Dari hasil analisi data yang menggunakan instrumen berupa angket diperoleh hasil bahwa sebagian besar
guru menyambut antusias perubahan yang akan dilakukan dan pada umumnya mereka sudah mengenal pemecahan
masalah. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru pria dan guru wanita, serta tidak ada perbedaan pandangan
dan sikap guru terhadap pendekatan pemecahan masalah jika dikaitan dengan jenjang persekolahan.
Kata Kunci : Pandangan, Pemecahan masalah.
Latar Belakang Masalah
he National Council of Teachers of
Mathematics yang dikutip Reys, Suydam,
Lindquist dan Smith (1998), merekomendasikan
bahwa pemecahan masalah merupakan fokus sentral
dalam pembelajaran matematika. Ada beberapa hal
yang dapat dijadikan alasan untuk diterapkannya
pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika, yaitu pertama, adanya temuan bahwa
siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika,
yakni :
1. Kesulitan dalam menguasai keterampilan dasar
(basic skill)
2. Kesulitan dalam menyusun ide abstrak
matematika (abstract idea)
3. Kesulitan dalam berfikir tingkat tinggi (high
order thinking)
(Schoenfeld, 1992)
Selain itu, Santos (1995) menemukan dalam
penelitiannya bahwa pemecahan masalah matematika
dapat mengantarkan pengalaman belajar anak
sehingga memberikan kesempatan kepada anak untuk
dapat memperoleh pengalaman matematika secara
aktual. Hasil ini juga diperkuat oleh temuan
Schoenfeld (1992) bahwa proses pada doing
mathematics meliputi penggunaan sumber daya atas
pengetahuan dan pengalaman dasar matematika
(fakta, prosedur dan algoritma), penggunaan strategi
secara heuristik, memunculkan aktifitas metakognisi
(monitoring dan kontrol) dan pemahaman
matematika secara alamiah. Suasana tersebut akan
menjadikan proses pembelajaran matematika yang
dinamis, anak punya banyak kesempatan untuk
mengkomunikasikan cara-cara penyelesaian
berdasarkan pengalaman belajar mereka dan mereka
akan memandang bahwa matematika sebagai suatu
ilmu dan bukan memandang matematika sebagai
suatu aturan yang ketat, algoritmik dan prosedural
seperti layaknya sebuah aturan atau undang-undang
(Freudenthal, 1991; Schoenfeld, 1992). Penelitian
lain yang mendukung adalah hasil penelitian
Mwrinde dan Ebert (1995), serta penelitian Utari,
Didi, Dadan dan Suhendra (1999), yaitu anak yang
belajar pada kelompok dengan pembelajaran
pemecahan masalah matematika lebih berkonsentrasi
dan mempunyai perilaku serta kemampuan yang baik
dalam menyelesaikan solusi, juga aktifitas mereka
dapat mengantarkan pada higher –level thinking.
T
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
26 Mimbar Pendidikan
Di lain pihak, guru kelas merupakan faktor
penentu untuk berjalannya rekomendasi tersebut.
Dalam kenyataannya, kesuksesan dalam
pembaharuan kurikulum matematika sangat
tergantung pada guru kelas (Pejouhy dalam Gonzales,
1994), sikap guru sangat vital dalam proses belajar
mengajar (Reys, dkk., 1998), dan mempunyai
dampak yang besar terhadap perkembangan
kurikulum matematika, pembelajaran, dan penelitian
(Dossey dalam Endang, 2002). Dengan demikian,
pemecahan masalah matematika akan menjadi fokus
sentral hanya jika guru dapat membuat suasana atau
lingkungan kelas yang mendorong siswa sehingga
terlaksananya pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah dengan baik.
Kenyataan yang ada di kita, proses
pembelajaran kebanyakan masih belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Upaya guru ke arah
peningkatan proses belajar mengajar belum optimal,
metode dan pendekatan yang dikuasasi guru belum
beranjak dari pola tradisional, dan hal ini membawa
dampak negatif terhadap daya serap siswa yang
ternyata masih tetap lemah yang ditandai dengan
masih rendahnya rata-rata NEM (Subekti,1997;
Wahyudin, 1999). Pilihan favorit guru dalam
mengajar matematika adalah metode ceramah dan
ekspositori (Wahyudin, 1999), guru asik
menerangkan materi baru di depan kelas dan murid
mencatat. Kemudian anak disuruh mengerjakan
latihan dan diberi pekerjaan rumah. Dengan demikian
anak jarang atau dapat dikatakan sama sekali tidak
pernah mengkomunikasikan hasil dan
pengalamannya dalam belajar matematika. Wahyudin
(1999) juga menemukan bahwa pendekatan problem
solving sama sekali tidak tersentuh oleh guru dalam
proses belajar mengajar. Padahal uraian dan soal-soal
dalam buku paket matematika SD pada dasarnya
terdapat beberapa tugas matematika yang dipandang
memuat pemecahan masalah matematika yang dapat
mengantarkan kemampuan anak pada ketrampilan
tingkat tinggi, namun dalam pelaksanaannya belum
mendapat perhatian dari guru (Utari, dkk., 1999).
Untuk itu Subekti (1997) merekomendasikan agar
guru meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam
mengolah bahan pelajaran dan menerapkan tehnik
pembelajaran yang tepat. Menurut Brown dan Barko
(1992) terdapat beberapa pengetahuan dan
kemampuan yang harus dimiliki oleh guru, yakni:
Pengetahuan tentang subject matter, pengetahuan isi
pedagogik, pengetahuan kurikulum, pengetahuan
tentang anak didik, pengetahuan tentang tujuan
pendidikan, pengetahuan tentang pedagogik secara
umum dan pengetahuan umum. Menurut Ball (1990)
pengetahuan pada subject matter meliputi dua
pengetahuan yakni pengetahuan matematika dan
pengetahuan tentang matematika, sedangkan
pengetahuan tentang isi pedagogik meliputi
pemahaman bagaimana menyatakan topik dari
subject matter secara spesifik dalam cara-cara yang
terlihat untuk membantu meningkatkan kemampuan
dan ketertarikan anak didik.
Dari kenyataan tersebut muncul suatu
pertanyaan yang menarik untuk diteliti, yakni
mengapa guru matematika sebagian besar tidak
menggunakan pendekatan problem solving dalam
proses belajar mengajarnya ? Pertanyaan ini
menyangkut dua hal, yakni bagaimana pemahaman
guru dalam pemecaham masalah matematika dan
bagaimana pandangannya terhadap pemecahan
masalah matematika ?
Karena ada beberapa kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru, yaitu Pengetahuan tentang subject
matter, pengetahuan isi pedagogik, pengetahuan
kurikulum, pengetahuan tentang anak didik,
pengetahuan tentang tujuan pendidikan, pengetahuan
tentang pedagogik secara umum dan pengetahuan
umum. Fokus pada penelitian ini meyangkut
pedagogik, yakni pengetahuan (knowledge) tentang
pemecahan masalah matematika dan pandangan
terhadap pendekatan tersebut. Namun secara alami
pandangan guru tentang matematika dan
pengajarannya agak sulit untuk dibedakan
(Thompson, 1992). Dengan demikian fokus masalah
dalam penelitian ini adalah ingin mengungkap hal
sebagai berikut:
“Bagaimana pandangan guru matematika sekolah
terhadap pendekatan pemecahan masalah guru
matematika ? “
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 27
Seperti kita ketahui, bahwa jenjang
persekolahan di Indonesia terdiri dari tingkat sekolah
dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Dengan
demikian perlu kiranya melihat bagaimana
pandangan guru pada tiaap jenjang sekolah tersebut.
Kemudian, karena semakin tinggi jejang sekolah,
maka topik matematika semakin abstrak, sehingga
perlu dilihat pada jenjang mana guru menganggap
bahwa pemecahan masalah perlu digunakan. Selain
itu, Cai (1995) menemukan bahwa terdapat
perbedaan kemampuan antara laki-laki dan
perempuan dalam menyelesaikan masalah dalam
konteks problem solving. Untuk itulah, perlu kiranya
juga dilihat bagaimana pandangan guru laki-laki dan
perempuan terhadap pendekatan pemecahan masalah
matematika.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana
pandangan dan pemahaman guru matematika
terhadap pendekatan pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah matematika.
Dalam mengukur pandangan pedagogik guru tersebut
peneliti mengembangkan alat ukur dengan
menggunakan Skala Likert. Skala tersebut
mengindikasikan “sangat setuju”, “setuju”, “raguragu”,
“tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”.
Selanjutnya dari angket tersebut dikaji secara
kuantitatif pandangan guru secara keseluruhan dan
perbedaan pandangan antar tingkatan sekolah dan
jenis kelamin, serta dilakukan juga pengkajian
kualitatif untuk tiap pertanyaan yang diajukan.
Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Subjek penelitian ini adalah guru matematika
dari berbagai tingkat sekolah (SLTP, SMU dan
SMK) yang berada di kota Bandung. Dari sejumlah
guru yang dihubungi baik langsung maupun tidak
langsung, terkumpul sejumlah 72 responden yang
mengembalikan angket.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
pengambilan data penelitian ini menggunakan angket
yang memuat identitas responden, kondisi
pembelajaran matematika yang telah berlangsung,
keiinganan untuk melakukan inovasi dalam
pembelajaran dan pandangan responden terhadap
pembelajaran matematika dengan pendekatan
pemecahan masalah.
Hasil dan Pembahasan
Dari sejumlah 72 responden diperoleh 66 atau
91,7% orang guru punya tujuan untuk mengubah
perilaku siswa ke arah yang lebih baik, 42 orang atau
58,3% bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan
kepada siswa, 43 orang atau 59,7% memberikan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dan 24 orang atau
33,3% menyelesaikan pembelajaran. Dari jumlah
atau prosentase di atas nampak bahwa tujuan
mengajar guru lebih berorientasi pada perubahan
perilaku siswa kearah yang lebih baik. Hal ini
mencerminkan bahwa tingkat budi pekerti lebih
menjadi penekanan selain pengetahuan. Pendapat ini
merupakan primary belief yang merupakan dimensi
pertama dari sistem dimensi pandangan yang
dikemukakan oleh Green (dalam Schoenfeld 1992).
Tugas yang dirasakan oleh guru 66 orang
(91,7%) menganggap sebagai suatu tantangan untuk
mengembangkan profesi dan hanya sebagain kecil
saja, 32% merasakan sebagai tugas rutin yang harus
dijalankan sesuai perintah dan hanya 18%
menganggap pekerjaan rutin yang biasa dilakukan.
Dengan demikian ada suatu modal dasar untuk
pembuat kebijakan atau pemerintah dalam upaya
peningkatan kualitas sumber daya guru ke arah yang
lebih baik. Hal inipun ditunjukkan dengan anggapan
guru yang merasa, 92,7%, bahwa mereka belum
merasa puas dengan penguasaan materi saat sekarang
dan hal ini didukung pula oleh keiinginan mereka,
98,6%, untuk memperbaiki cara pengajaran
matematika yang telah dilakukannya.
Faktor lain yang penting dalam menunjang
pembelajaran adalah buku pegangan guru dan murid.
Dari hasil jawaban responden ditemukan bahwa
71,4% memberikan pendapat bahwa buku pegangan
yang digunakan dapat mengarahkan murid berfikir
dengan bantuan guru, 21,5% buku yang digunakan
sudah dapat mengarahkan berfikir siswa tanpa
bantuan guru dan sisanya 7,1% kurang mengarahkan
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
28 Mimbar Pendidikan
murid untuk berfikir. Hasil ini memberikan suatu
masukan bahwa tingkat keterbacaan siswa terhadap
buku pegangan dapat dikatakan masih perlu
bimbingan dari guru. Hal ini kemungkinan
diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, kualitas buku
yang kurang memadai atau tingkat keabstrakan buku
yang tinggi sehingga siswa sulit untuk memahaminya.
Faktor yang kedua, mungkin kemampuan siswa
dalam membacanya yang masih kurang, sehingga
masih perlu bimbingan dari guru.
Mengenai pengetahuan guru dalam
pemecahan masalah ditemukan bahwa 72,2% guru
telah pernah mempelajari tetapi belum sepenuhnya
memahami pembelajaran matematika dengan
pendekatan pemecahan masalah, 12,5% telah
memahami dengan sepenuhnya, 11,1% pernah
mengetahui tetapi belum pernah mempelajarinya dan
4,2% belum pernah mengetahuinya. Hasil ini
memberikan harapan yang besar jika pembelajaran
matematika mendatang akan mejadikan pemecahan
masalah matematika sebagai fokus sentral dalam
pembelajaran matematika. Sedangkan
pelaksanaannya dikelas diperoleh informasi bahwa
63,9% guru-guru jarang menggunakan pendekatan
pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematikanya, 13,9% sering menggunakan
pendekatan pemecahan masalah, 12,5% selalu
menggunakan pemecahan masalah, 4% tidak pernah
menggunakan pendekatan pemecahan masalah dan
sisanya 4,2% tidak memberikan jawaban. Hasil ini
berkaitan erat dengan hasil yang diperoleh
sebelumnya, yakni masih banyak guru-guru yang
belum memahami sepenuhnya tentang pendekatan
pemecahan masalah. Hasil ini sejalan dengan temuan
Wahyudin (1999) bahwa Pilihan favorit guru dalam
mengajar matematika adalah metode ceramah dan
ekspositori. Hal in sejalan dengan Utari, dkk. (1999),
yaitu uraian dan soal-soal dalam buku paket
matematika pada dasarnya terdapat beberapa tugas
matematika yang dipandang memuat pemecahan
masalah matematika yang dapat mengantarkan
kemampuan anak pada ketrampilan tingkat tinggi,
namun pelaksanaanya belum mendapat perhatian dari
guru.
Adapun faktor yang mempengaruhi guru
jarang menggunakan pendekatan pemecahan masalah
salah satunya adalah pengaruh dari efektifitas waktu.
Ditemukan bahwa 39,7% menyatakan setuju bahwa
pendekatan pemecahan masalah terlalu banyak
menyita waktu, 28,8% menyatakan ragu-ragu, 17,6%
menyatakan tidak setuju, dan sisanya 12,3%
menyatakan sangat setuju bahwa pendekatan ini
terlalu banyak menyita waktu dalam pelaksanaannya.
Hal ini didukung oleh temuan sebelumnya bahwa
guru-guru jarang menggunakan pendekatan ini,
sehingga tidak terbiasa atau tidak direncanakan
dengan tahapan yang jelas. Hal lain yang
kemungkinan berpengaruh adalah banyaknya materi
yang harus disampaikan oleh guru, sehingga mereka
dikejar oleh target kurikulum.
Hasil di atas menunjukkan kekonsistenan
guru, bahwa guru tidak memberikan waktu yang
memadai kepada anak untuk berfikir dan
memecahkan masalah. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa pendapat guru terbelah menjadi dua bagian
yang hampir seimbang, yakni 28% menyatakan
setuju bahwa menyelesaikan masalah matematika
tidak perlu menghiraukan waktu yang penting dapat
menyelesaikannya, tetapi 21% berpendapat
sebalikanya, yakni tidak setuju, diikuti oleh 12,3%
menyatakan sangat tidak setuju dan hanya 6,8%
menyatakan sangat setuju bahwa penyelesaian
masalah matematika tidak perlu menghiraukan waktu.
Akibatnya pendekatan pembelajaran matematika
lebih kepada pendekatan konsep (conceptual
Approach), dimana guru memberikan arahan atau
petunjukan algoritma pada anak untuk menyelesaikan
masalah (Baroody, 1996).
Temuan lain yang menarik untuk diperhatikan
adalah adanya mis-konsepsi tentang pandangan guru
terhadap pendekatan pemecahan masalah yang
berkaitan dengan materi yang dijadikan masalah
sebagai inti dari pendekatan ini. Sebagain besar guru
berpendapat bahwa tidak semua topik matematika
dapat diajarkan dengan pendekatan pemecahan
masalah. Hal ini diakibatkan oleh persepsi mereka
bahwa masalah yang diberikan dalam pendekatan ini
harus berbentuk soal ceritera (word problem).
Hasilnya adalah 64,4% menyatakan setuju bahwa
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 29
tidak semua topik matematika dapat diajarkan dengan
pendekatan pemecahan masalah, 13,7% menyatakan
sangat setuju, 6% menyatakan ragu-ragu dan hanya
6% menyatakan tidak setuju. Hasil ini berkaitan
dengan pendapat bahwa masalah yang diberikan
harus berbentuk soal ceritera (word problem), yakni
sebagian besar; 64,4% menganggap bahwa masalah
dalam pendekatan pemecahan masalah berupa soal
ceritera, sedangkan hanya 23,3% menyatakan tidak
setuju bahwa masalah dalam pendekatan pemecahan
masalah adalah soal ceritera, 6,8% ragu-ragu dan
4,1% menyatakan sangat setuju. Hasil ini
memberikan sedikit gambaran yang salah, sehingga
guru banyak mengalami kesulitan dalam menyusun
soal. Padahal menurut Shimada (1997) masalah tidak
mutlak berupa soal ceritera yang bersifat aplikasi,
akan tetapi soal yang tidak rutin yang dapat berbentuk
soal ceritera (word problem) atau berbentuk soal
matematika. Temuan ini sejalan dengan temuan
Endang (2002) bahwa pembelajaran yang dilakukan
oleh guru inti matematika SLTP di dalam kelas
menunjukkan pandangannya terhadap matematika
yang cenderung instrumentalis dan penguasaannya
terhadap matematika kurang memadai. Dengan
demikian sangat wajar apabila guru-guru matematika
lainnya mempunyai kelemahan dalam hal yang sama.
Pendapat selanjutnya memperlihatkan bahwa
pembelajaran secara formal (matematika deduksi)
masih dianggap lebih baik daripada pendekatan
pemecahan masalah. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa 46,6% menyatakan tidak setuju
pembelajaran matematika dengan pemecahan
masalah tanpa pembelajaran formal, 37,0%
menyatakan setuju, 6,8% menyatakan sangat tidak
setuju, 1,4% menyatakan sangat setuju dan 2,7%
tidak memberikan jawaban. Akibat dari itu,
pemberian prosedur atau algoritma penyelesaian
suatu masalah merupakan hal yang sangat penting
untuk diajarkan/diberikan kepada anak. Dari beberapa
pertanyaan yang diberikan menunjukkan suatu
kekonsistenan tentang pentingnya prosedur
penyelesaian suatu masalah. Hasilnya menunjukkan
bahwa 50,7% responden menyatakan setuju terhadap
pentingnya anak mengetahui bagaimana
prosedur/algoritma suatu penyelesaian masalah,
31,5% menyatakan sangat setuju, 11,0% menyatakan
ragu-ragu, 4,1% menyatakan tidak setuju dan hanya
1,4% menyatakan sangat tidak setuju. Hal ini
didukung oleh hasil yang menunjukkan bahwa 17,8%
menyatakan sangat setuju belajar matematika yang
terbaik untuk anak adalah guru mendemontrasikan
dan menjelaskan prosedur atau algoritma
penyelesaian masalah, 38,4 % menyatakan setuju,
20,5% ragu-ragu, 19,2% menyatakan tidak setuju dan
hanya 2,7% menyatakan tidak setuju.
Hasil lain yang berkaitan dengan kedua hasil
di atas adalah bagaimana cara guru dalam
meningkatkan kemampuan siswanya. Dari penelitian
ini ditemukan bahwa 52,1% guru menyatakan setuju
kemampuan anak dapat ditingkatkan dengan
memberikan berbagai macam prosedur atau cara
bagaimana suatu masalah dapat diselesaikan dan
hanya 16,4% menyatakan ketidaksetujuan dengan
pemberian algoritma. Hal inipun nampak dari temuan
yang menyatakan bahwa 61,6% menyatakan setuju
bahwa kemampuan pemecahan masalah anak dapat
dikembangkan dengan memberi anak kata-kata
petunjuk sebagai arahan untuk menyelesaiakn
masalah dan hanya 12,3% menyatakan tidak setuju.
Akibatnya guru memandang bahwa cara terbaik
untuk mengajar dengan pemecahan masalah adalah
menunjukkan kepada siswa bagaimana
menyelesaikan masalah yang telah dilakukan pada
saat tertentu. Hasil ini didukung oleh temuan bahwa
60,3% guru menganggap bahwa cara terbaik untuk
mengajar dengan pemecahan masalah adalah
menunjukkan kepada siswa bagaimana
menyelesaiakn masalah yang telah dilakukan pada
saat tertentu dan hanya sebagaian kecil saja, 20,5 %
menyatakan sangat tidak setuju dan 12,3%
menyatakan tidak setuju. Akan tetapi, kedemokratisan
guru masih terlihat sangat tinggi. Maksudnya, cara
atau proses penyelesaian anak dalam menyelesaikan
masalah tidak harus sama dengan apa yang dilakukan
oleh gurunya. Akibatnya, banyak siswa yang salah
menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya, hal ini
disebabkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu
saja dipindahkan, melainkan harus dikontruksikan
atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh
siswa. Glasersfeld (dalam Paul Suparno, 1997)
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
30 Mimbar Pendidikan
berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah suatu
barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran
yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang
belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang
guru bermaksud menstransfer konsep, ide dan
pengertiannya kepada seorang murid, maka
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan
dikontruksi oleh si murid lewat pengalamannya.
Cara lain yang dapat dikembangkan oleh guru
dalam meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah anak adalah
menyuruh siswanya untuk membuat sendiri masalah.
Hasilnya menunjukkan bahwa 50,7% guru
menyatakan tidak setuju, 15,1% menyatakan sangat
tidak setuju, 15,1% menyatakan ragu-ragu, 12,3%
menyatakan setuju, 2,7 % menyatakan sangat setuju
dan 2,7% tidak memberikan jawaban. Hasil ini
menunjukkan bahwa guru-guru jarang memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengembangkan
kemampuan anak melalui dirinya sendiri. Padahal
menurut Paul Suparno (1997) bahwa tanpa
pengalaman seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan. Pengalaman tersebut tidak harus
diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat
diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Pendapat lain yang terungkap pada penelitian
ini adalah perlunya kemampuan fakta dasar dan
prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa yang
berkaitan dengan materi yang akan diberikan melalui
pendekatan pemecahan masalah. Pendapat guru
menunjukkan bahwa 47,9% setuju siswa harus
mampu mengingat fakta dasar sebelum memperoleh
pengalaman dalam memecahkan masalah sederhana
secara informal, 31,5% menyatakan sangat setuju,
13,7% menyatakan tidak setuju dan 5,5%
menyatakan ragu-ragu. Dan untuk tingkatan lebih
lanjutpun, yakni pada pemecahan masalah, responden
umumnya menyetujui bahwa siswa tidak akan dapat
menyelesaiakan masalah sederhana selama
mereka/siswa tidak menguasai fakta dasar atau materi
prasyarat.
Hal lain yang terungkap dalam penelitian ini
adalah tidak adanya perbedaan pandangan yang
didasarkan atas jenis kelamin terhadap pemecahan
masalah dan juga tida ada perbedaan yang signifikan
yang didasarkan atas tempat mengajar guru pada
jenjang sekolah.
Kesimpulan dan saran
Dari hasil pembahasan sebelumnya diperoleh
bahwa guru berpandangan bahwa tujuan utama
mereka dalam mengajar disamping menstrasfer ilmu
pengetahuan, juga ada hal utama, yakni mengubah
perilaku ke arah yang lebih baik, tugas keseharian
yang dilakukan oleh guru dianggap sebagai suatu
tantangan untuk mengembangkan profesi, sehingga
mereka selalu siap dalam menerima perubahan atau
perkembangan dalam bidang matematika dan
pembelajarannya, sebagian besar guru telah
mengetahui dan melakukan pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah (problem
solving). Namun terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yakni : (a) Guru menganggap bahwa
tidak semua topik matematika dapat diberikan melalui
pendekatan pemecahan masalah. (b) guru
berpandangan bahwa masalah dalam pemecahan
matematika “harus” soal ceritera mengenai aplikasi
matematika. (c) guru berpandangan bahwa meskipun
pembelajaran matematika melalui pemecahan
masalah, tetapi prosedur/algortima penyelesaian
masalah masih dianggap penting. (d) guru
beranggapan bahwa pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah terlalu
banyak menyita waktu. (e) guru berpandangan bahwa
fakta dasar harus dikuasai terlebih dahulu dan
menjadi prasyarat bagi pemblejaran matematika
melalui pendekatan pemeca-han masalah. (f)
pengembangan kemampuan mate-matika siswa
melalui pendekatan pemecahan masalah belum
terungkap secara jelas oleh guru. Mereka berpendapat
bahwa cara terbaik untuk mengembangkan
kemampuan siswa yakni dengan memberikan
langkah dan prosedur penyelesaian masalah.
Sedangkan hasil temuan lain adalah tidak ada
perbedaan pandangan-pandangan guru di atas baik
dilihat dari jenis kelamin maupun tingkatan sekolah.
Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini,
maka peneliti dapat memberikan saran, yakni perlu
diberikan penyegaran kembali tentang pembelajaran
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 31
matematika melalui pendekatan pemecahan masalah
baik materi pemecahan masalah itu sendiri maupun
berbagai hal yang berkaitan dengan implementasi
dalam pembelajaran matematika, tersedianya bukubuku
matematika yang mendasarkan sajiannya pada
pendekatan pemecahan masalah, adanya penelitian
lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menghambat
secara internal maupun eksternal terhadap
implementasi pembelajaran matematika melalui
pendekatan pemecahan masalah pada berbagai
jenjang sekolah (mulai SD, SLTP sampai
SMU/SMK).
Kepustakaan
Branca. N. A. (1985). Mathematical Problem Solving: Lesson from the British
Experience. Teching and learning mathematical Problem Solving.
Editor: Edward A. Silver. London : Lawrence Eralbaum Associates
Publisher.
Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-
8. New York : Macmillan Publishing Company.
Beyer, B.K. Pasnak, R. (1993). Heliping Children Think Better: The
Developmental Lesson Set Approach. Journal of Research and
Development in Education. Vol. 26, No. 2, Winter 1993).
Bjorklund, D.F. (1989). Chldren’s Thinking: Developmental function
individual Differences. California : Brooks/Cole Publishing
Company.
Brown, C. A. & Borko, H. (1992). Becoming a Mathematics Teacher.
Handbook of Research on Mathematics Teaching. NCTM. Mc
Millan Publishing Company.
Cai, J., (1996). Exploring Gender Differences in Solving Open-Ended.
Psychology of mathematics Education. Proceedings of the
Seventehenth Annual Meeting. Columbus, USA: Eric Clearinghouse
for Scinece, Mathematics and Environmental Education.