Kamis, 26 Januari 2012

No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 25
Pandangan Guru Matematika Sekolah Lanjutan Terhadap
Pendekatan Pemecahan Masalah Matematika
Drs. Jarnawi Afgani D., M.Si.
Drs. Eka Fitrajaya R.
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Abstrak
Sebagaimana kita ketahui bahwa kurikulum berbasis kompetensi memfokuskan pembelajaran matematika melalui
pendekatan pemecahan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan guru terhadap
pembelajaran matematika melalui penedekatan pemecahan masalah. Subyek sampel pada penelitian ini berjumlah 72
orang guru. Dari hasil analisi data yang menggunakan instrumen berupa angket diperoleh hasil bahwa sebagian besar
guru menyambut antusias perubahan yang akan dilakukan dan pada umumnya mereka sudah mengenal pemecahan
masalah. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru pria dan guru wanita, serta tidak ada perbedaan pandangan
dan sikap guru terhadap pendekatan pemecahan masalah jika dikaitan dengan jenjang persekolahan.
Kata Kunci : Pandangan, Pemecahan masalah.
Latar Belakang Masalah
he National Council of Teachers of
Mathematics yang dikutip Reys, Suydam,
Lindquist dan Smith (1998), merekomendasikan
bahwa pemecahan masalah merupakan fokus sentral
dalam pembelajaran matematika. Ada beberapa hal
yang dapat dijadikan alasan untuk diterapkannya
pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika, yaitu pertama, adanya temuan bahwa
siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika,
yakni :
1. Kesulitan dalam menguasai keterampilan dasar
(basic skill)
2. Kesulitan dalam menyusun ide abstrak
matematika (abstract idea)
3. Kesulitan dalam berfikir tingkat tinggi (high
order thinking)
(Schoenfeld, 1992)
Selain itu, Santos (1995) menemukan dalam
penelitiannya bahwa pemecahan masalah matematika
dapat mengantarkan pengalaman belajar anak
sehingga memberikan kesempatan kepada anak untuk
dapat memperoleh pengalaman matematika secara
aktual. Hasil ini juga diperkuat oleh temuan
Schoenfeld (1992) bahwa proses pada doing
mathematics meliputi penggunaan sumber daya atas
pengetahuan dan pengalaman dasar matematika
(fakta, prosedur dan algoritma), penggunaan strategi
secara heuristik, memunculkan aktifitas metakognisi
(monitoring dan kontrol) dan pemahaman
matematika secara alamiah. Suasana tersebut akan
menjadikan proses pembelajaran matematika yang
dinamis, anak punya banyak kesempatan untuk
mengkomunikasikan cara-cara penyelesaian
berdasarkan pengalaman belajar mereka dan mereka
akan memandang bahwa matematika sebagai suatu
ilmu dan bukan memandang matematika sebagai
suatu aturan yang ketat, algoritmik dan prosedural
seperti layaknya sebuah aturan atau undang-undang
(Freudenthal, 1991; Schoenfeld, 1992). Penelitian
lain yang mendukung adalah hasil penelitian
Mwrinde dan Ebert (1995), serta penelitian Utari,
Didi, Dadan dan Suhendra (1999), yaitu anak yang
belajar pada kelompok dengan pembelajaran
pemecahan masalah matematika lebih berkonsentrasi
dan mempunyai perilaku serta kemampuan yang baik
dalam menyelesaikan solusi, juga aktifitas mereka
dapat mengantarkan pada higher –level thinking.
T
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
26 Mimbar Pendidikan
Di lain pihak, guru kelas merupakan faktor
penentu untuk berjalannya rekomendasi tersebut.
Dalam kenyataannya, kesuksesan dalam
pembaharuan kurikulum matematika sangat
tergantung pada guru kelas (Pejouhy dalam Gonzales,
1994), sikap guru sangat vital dalam proses belajar
mengajar (Reys, dkk., 1998), dan mempunyai
dampak yang besar terhadap perkembangan
kurikulum matematika, pembelajaran, dan penelitian
(Dossey dalam Endang, 2002). Dengan demikian,
pemecahan masalah matematika akan menjadi fokus
sentral hanya jika guru dapat membuat suasana atau
lingkungan kelas yang mendorong siswa sehingga
terlaksananya pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah dengan baik.
Kenyataan yang ada di kita, proses
pembelajaran kebanyakan masih belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Upaya guru ke arah
peningkatan proses belajar mengajar belum optimal,
metode dan pendekatan yang dikuasasi guru belum
beranjak dari pola tradisional, dan hal ini membawa
dampak negatif terhadap daya serap siswa yang
ternyata masih tetap lemah yang ditandai dengan
masih rendahnya rata-rata NEM (Subekti,1997;
Wahyudin, 1999). Pilihan favorit guru dalam
mengajar matematika adalah metode ceramah dan
ekspositori (Wahyudin, 1999), guru asik
menerangkan materi baru di depan kelas dan murid
mencatat. Kemudian anak disuruh mengerjakan
latihan dan diberi pekerjaan rumah. Dengan demikian
anak jarang atau dapat dikatakan sama sekali tidak
pernah mengkomunikasikan hasil dan
pengalamannya dalam belajar matematika. Wahyudin
(1999) juga menemukan bahwa pendekatan problem
solving sama sekali tidak tersentuh oleh guru dalam
proses belajar mengajar. Padahal uraian dan soal-soal
dalam buku paket matematika SD pada dasarnya
terdapat beberapa tugas matematika yang dipandang
memuat pemecahan masalah matematika yang dapat
mengantarkan kemampuan anak pada ketrampilan
tingkat tinggi, namun dalam pelaksanaannya belum
mendapat perhatian dari guru (Utari, dkk., 1999).
Untuk itu Subekti (1997) merekomendasikan agar
guru meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam
mengolah bahan pelajaran dan menerapkan tehnik
pembelajaran yang tepat. Menurut Brown dan Barko
(1992) terdapat beberapa pengetahuan dan
kemampuan yang harus dimiliki oleh guru, yakni:
Pengetahuan tentang subject matter, pengetahuan isi
pedagogik, pengetahuan kurikulum, pengetahuan
tentang anak didik, pengetahuan tentang tujuan
pendidikan, pengetahuan tentang pedagogik secara
umum dan pengetahuan umum. Menurut Ball (1990)
pengetahuan pada subject matter meliputi dua
pengetahuan yakni pengetahuan matematika dan
pengetahuan tentang matematika, sedangkan
pengetahuan tentang isi pedagogik meliputi
pemahaman bagaimana menyatakan topik dari
subject matter secara spesifik dalam cara-cara yang
terlihat untuk membantu meningkatkan kemampuan
dan ketertarikan anak didik.
Dari kenyataan tersebut muncul suatu
pertanyaan yang menarik untuk diteliti, yakni
mengapa guru matematika sebagian besar tidak
menggunakan pendekatan problem solving dalam
proses belajar mengajarnya ? Pertanyaan ini
menyangkut dua hal, yakni bagaimana pemahaman
guru dalam pemecaham masalah matematika dan
bagaimana pandangannya terhadap pemecahan
masalah matematika ?
Karena ada beberapa kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru, yaitu Pengetahuan tentang subject
matter, pengetahuan isi pedagogik, pengetahuan
kurikulum, pengetahuan tentang anak didik,
pengetahuan tentang tujuan pendidikan, pengetahuan
tentang pedagogik secara umum dan pengetahuan
umum. Fokus pada penelitian ini meyangkut
pedagogik, yakni pengetahuan (knowledge) tentang
pemecahan masalah matematika dan pandangan
terhadap pendekatan tersebut. Namun secara alami
pandangan guru tentang matematika dan
pengajarannya agak sulit untuk dibedakan
(Thompson, 1992). Dengan demikian fokus masalah
dalam penelitian ini adalah ingin mengungkap hal
sebagai berikut:
“Bagaimana pandangan guru matematika sekolah
terhadap pendekatan pemecahan masalah guru
matematika ? “
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 27
Seperti kita ketahui, bahwa jenjang
persekolahan di Indonesia terdiri dari tingkat sekolah
dasar, lanjutan pertama dan lanjutan atas. Dengan
demikian perlu kiranya melihat bagaimana
pandangan guru pada tiaap jenjang sekolah tersebut.
Kemudian, karena semakin tinggi jejang sekolah,
maka topik matematika semakin abstrak, sehingga
perlu dilihat pada jenjang mana guru menganggap
bahwa pemecahan masalah perlu digunakan. Selain
itu, Cai (1995) menemukan bahwa terdapat
perbedaan kemampuan antara laki-laki dan
perempuan dalam menyelesaikan masalah dalam
konteks problem solving. Untuk itulah, perlu kiranya
juga dilihat bagaimana pandangan guru laki-laki dan
perempuan terhadap pendekatan pemecahan masalah
matematika.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana
pandangan dan pemahaman guru matematika
terhadap pendekatan pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah matematika.
Dalam mengukur pandangan pedagogik guru tersebut
peneliti mengembangkan alat ukur dengan
menggunakan Skala Likert. Skala tersebut
mengindikasikan “sangat setuju”, “setuju”, “raguragu”,
“tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”.
Selanjutnya dari angket tersebut dikaji secara
kuantitatif pandangan guru secara keseluruhan dan
perbedaan pandangan antar tingkatan sekolah dan
jenis kelamin, serta dilakukan juga pengkajian
kualitatif untuk tiap pertanyaan yang diajukan.
Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Subjek penelitian ini adalah guru matematika
dari berbagai tingkat sekolah (SLTP, SMU dan
SMK) yang berada di kota Bandung. Dari sejumlah
guru yang dihubungi baik langsung maupun tidak
langsung, terkumpul sejumlah 72 responden yang
mengembalikan angket.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
pengambilan data penelitian ini menggunakan angket
yang memuat identitas responden, kondisi
pembelajaran matematika yang telah berlangsung,
keiinganan untuk melakukan inovasi dalam
pembelajaran dan pandangan responden terhadap
pembelajaran matematika dengan pendekatan
pemecahan masalah.
Hasil dan Pembahasan
Dari sejumlah 72 responden diperoleh 66 atau
91,7% orang guru punya tujuan untuk mengubah
perilaku siswa ke arah yang lebih baik, 42 orang atau
58,3% bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan
kepada siswa, 43 orang atau 59,7% memberikan
pengetahuan sebanyak-banyaknya dan 24 orang atau
33,3% menyelesaikan pembelajaran. Dari jumlah
atau prosentase di atas nampak bahwa tujuan
mengajar guru lebih berorientasi pada perubahan
perilaku siswa kearah yang lebih baik. Hal ini
mencerminkan bahwa tingkat budi pekerti lebih
menjadi penekanan selain pengetahuan. Pendapat ini
merupakan primary belief yang merupakan dimensi
pertama dari sistem dimensi pandangan yang
dikemukakan oleh Green (dalam Schoenfeld 1992).
Tugas yang dirasakan oleh guru 66 orang
(91,7%) menganggap sebagai suatu tantangan untuk
mengembangkan profesi dan hanya sebagain kecil
saja, 32% merasakan sebagai tugas rutin yang harus
dijalankan sesuai perintah dan hanya 18%
menganggap pekerjaan rutin yang biasa dilakukan.
Dengan demikian ada suatu modal dasar untuk
pembuat kebijakan atau pemerintah dalam upaya
peningkatan kualitas sumber daya guru ke arah yang
lebih baik. Hal inipun ditunjukkan dengan anggapan
guru yang merasa, 92,7%, bahwa mereka belum
merasa puas dengan penguasaan materi saat sekarang
dan hal ini didukung pula oleh keiinginan mereka,
98,6%, untuk memperbaiki cara pengajaran
matematika yang telah dilakukannya.
Faktor lain yang penting dalam menunjang
pembelajaran adalah buku pegangan guru dan murid.
Dari hasil jawaban responden ditemukan bahwa
71,4% memberikan pendapat bahwa buku pegangan
yang digunakan dapat mengarahkan murid berfikir
dengan bantuan guru, 21,5% buku yang digunakan
sudah dapat mengarahkan berfikir siswa tanpa
bantuan guru dan sisanya 7,1% kurang mengarahkan
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
28 Mimbar Pendidikan
murid untuk berfikir. Hasil ini memberikan suatu
masukan bahwa tingkat keterbacaan siswa terhadap
buku pegangan dapat dikatakan masih perlu
bimbingan dari guru. Hal ini kemungkinan
diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, kualitas buku
yang kurang memadai atau tingkat keabstrakan buku
yang tinggi sehingga siswa sulit untuk memahaminya.
Faktor yang kedua, mungkin kemampuan siswa
dalam membacanya yang masih kurang, sehingga
masih perlu bimbingan dari guru.
Mengenai pengetahuan guru dalam
pemecahan masalah ditemukan bahwa 72,2% guru
telah pernah mempelajari tetapi belum sepenuhnya
memahami pembelajaran matematika dengan
pendekatan pemecahan masalah, 12,5% telah
memahami dengan sepenuhnya, 11,1% pernah
mengetahui tetapi belum pernah mempelajarinya dan
4,2% belum pernah mengetahuinya. Hasil ini
memberikan harapan yang besar jika pembelajaran
matematika mendatang akan mejadikan pemecahan
masalah matematika sebagai fokus sentral dalam
pembelajaran matematika. Sedangkan
pelaksanaannya dikelas diperoleh informasi bahwa
63,9% guru-guru jarang menggunakan pendekatan
pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematikanya, 13,9% sering menggunakan
pendekatan pemecahan masalah, 12,5% selalu
menggunakan pemecahan masalah, 4% tidak pernah
menggunakan pendekatan pemecahan masalah dan
sisanya 4,2% tidak memberikan jawaban. Hasil ini
berkaitan erat dengan hasil yang diperoleh
sebelumnya, yakni masih banyak guru-guru yang
belum memahami sepenuhnya tentang pendekatan
pemecahan masalah. Hasil ini sejalan dengan temuan
Wahyudin (1999) bahwa Pilihan favorit guru dalam
mengajar matematika adalah metode ceramah dan
ekspositori. Hal in sejalan dengan Utari, dkk. (1999),
yaitu uraian dan soal-soal dalam buku paket
matematika pada dasarnya terdapat beberapa tugas
matematika yang dipandang memuat pemecahan
masalah matematika yang dapat mengantarkan
kemampuan anak pada ketrampilan tingkat tinggi,
namun pelaksanaanya belum mendapat perhatian dari
guru.
Adapun faktor yang mempengaruhi guru
jarang menggunakan pendekatan pemecahan masalah
salah satunya adalah pengaruh dari efektifitas waktu.
Ditemukan bahwa 39,7% menyatakan setuju bahwa
pendekatan pemecahan masalah terlalu banyak
menyita waktu, 28,8% menyatakan ragu-ragu, 17,6%
menyatakan tidak setuju, dan sisanya 12,3%
menyatakan sangat setuju bahwa pendekatan ini
terlalu banyak menyita waktu dalam pelaksanaannya.
Hal ini didukung oleh temuan sebelumnya bahwa
guru-guru jarang menggunakan pendekatan ini,
sehingga tidak terbiasa atau tidak direncanakan
dengan tahapan yang jelas. Hal lain yang
kemungkinan berpengaruh adalah banyaknya materi
yang harus disampaikan oleh guru, sehingga mereka
dikejar oleh target kurikulum.
Hasil di atas menunjukkan kekonsistenan
guru, bahwa guru tidak memberikan waktu yang
memadai kepada anak untuk berfikir dan
memecahkan masalah. Dari penelitian ini ditemukan
bahwa pendapat guru terbelah menjadi dua bagian
yang hampir seimbang, yakni 28% menyatakan
setuju bahwa menyelesaikan masalah matematika
tidak perlu menghiraukan waktu yang penting dapat
menyelesaikannya, tetapi 21% berpendapat
sebalikanya, yakni tidak setuju, diikuti oleh 12,3%
menyatakan sangat tidak setuju dan hanya 6,8%
menyatakan sangat setuju bahwa penyelesaian
masalah matematika tidak perlu menghiraukan waktu.
Akibatnya pendekatan pembelajaran matematika
lebih kepada pendekatan konsep (conceptual
Approach), dimana guru memberikan arahan atau
petunjukan algoritma pada anak untuk menyelesaikan
masalah (Baroody, 1996).
Temuan lain yang menarik untuk diperhatikan
adalah adanya mis-konsepsi tentang pandangan guru
terhadap pendekatan pemecahan masalah yang
berkaitan dengan materi yang dijadikan masalah
sebagai inti dari pendekatan ini. Sebagain besar guru
berpendapat bahwa tidak semua topik matematika
dapat diajarkan dengan pendekatan pemecahan
masalah. Hal ini diakibatkan oleh persepsi mereka
bahwa masalah yang diberikan dalam pendekatan ini
harus berbentuk soal ceritera (word problem).
Hasilnya adalah 64,4% menyatakan setuju bahwa
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 29
tidak semua topik matematika dapat diajarkan dengan
pendekatan pemecahan masalah, 13,7% menyatakan
sangat setuju, 6% menyatakan ragu-ragu dan hanya
6% menyatakan tidak setuju. Hasil ini berkaitan
dengan pendapat bahwa masalah yang diberikan
harus berbentuk soal ceritera (word problem), yakni
sebagian besar; 64,4% menganggap bahwa masalah
dalam pendekatan pemecahan masalah berupa soal
ceritera, sedangkan hanya 23,3% menyatakan tidak
setuju bahwa masalah dalam pendekatan pemecahan
masalah adalah soal ceritera, 6,8% ragu-ragu dan
4,1% menyatakan sangat setuju. Hasil ini
memberikan sedikit gambaran yang salah, sehingga
guru banyak mengalami kesulitan dalam menyusun
soal. Padahal menurut Shimada (1997) masalah tidak
mutlak berupa soal ceritera yang bersifat aplikasi,
akan tetapi soal yang tidak rutin yang dapat berbentuk
soal ceritera (word problem) atau berbentuk soal
matematika. Temuan ini sejalan dengan temuan
Endang (2002) bahwa pembelajaran yang dilakukan
oleh guru inti matematika SLTP di dalam kelas
menunjukkan pandangannya terhadap matematika
yang cenderung instrumentalis dan penguasaannya
terhadap matematika kurang memadai. Dengan
demikian sangat wajar apabila guru-guru matematika
lainnya mempunyai kelemahan dalam hal yang sama.
Pendapat selanjutnya memperlihatkan bahwa
pembelajaran secara formal (matematika deduksi)
masih dianggap lebih baik daripada pendekatan
pemecahan masalah. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa 46,6% menyatakan tidak setuju
pembelajaran matematika dengan pemecahan
masalah tanpa pembelajaran formal, 37,0%
menyatakan setuju, 6,8% menyatakan sangat tidak
setuju, 1,4% menyatakan sangat setuju dan 2,7%
tidak memberikan jawaban. Akibat dari itu,
pemberian prosedur atau algoritma penyelesaian
suatu masalah merupakan hal yang sangat penting
untuk diajarkan/diberikan kepada anak. Dari beberapa
pertanyaan yang diberikan menunjukkan suatu
kekonsistenan tentang pentingnya prosedur
penyelesaian suatu masalah. Hasilnya menunjukkan
bahwa 50,7% responden menyatakan setuju terhadap
pentingnya anak mengetahui bagaimana
prosedur/algoritma suatu penyelesaian masalah,
31,5% menyatakan sangat setuju, 11,0% menyatakan
ragu-ragu, 4,1% menyatakan tidak setuju dan hanya
1,4% menyatakan sangat tidak setuju. Hal ini
didukung oleh hasil yang menunjukkan bahwa 17,8%
menyatakan sangat setuju belajar matematika yang
terbaik untuk anak adalah guru mendemontrasikan
dan menjelaskan prosedur atau algoritma
penyelesaian masalah, 38,4 % menyatakan setuju,
20,5% ragu-ragu, 19,2% menyatakan tidak setuju dan
hanya 2,7% menyatakan tidak setuju.
Hasil lain yang berkaitan dengan kedua hasil
di atas adalah bagaimana cara guru dalam
meningkatkan kemampuan siswanya. Dari penelitian
ini ditemukan bahwa 52,1% guru menyatakan setuju
kemampuan anak dapat ditingkatkan dengan
memberikan berbagai macam prosedur atau cara
bagaimana suatu masalah dapat diselesaikan dan
hanya 16,4% menyatakan ketidaksetujuan dengan
pemberian algoritma. Hal inipun nampak dari temuan
yang menyatakan bahwa 61,6% menyatakan setuju
bahwa kemampuan pemecahan masalah anak dapat
dikembangkan dengan memberi anak kata-kata
petunjuk sebagai arahan untuk menyelesaiakn
masalah dan hanya 12,3% menyatakan tidak setuju.
Akibatnya guru memandang bahwa cara terbaik
untuk mengajar dengan pemecahan masalah adalah
menunjukkan kepada siswa bagaimana
menyelesaikan masalah yang telah dilakukan pada
saat tertentu. Hasil ini didukung oleh temuan bahwa
60,3% guru menganggap bahwa cara terbaik untuk
mengajar dengan pemecahan masalah adalah
menunjukkan kepada siswa bagaimana
menyelesaiakn masalah yang telah dilakukan pada
saat tertentu dan hanya sebagaian kecil saja, 20,5 %
menyatakan sangat tidak setuju dan 12,3%
menyatakan tidak setuju. Akan tetapi, kedemokratisan
guru masih terlihat sangat tinggi. Maksudnya, cara
atau proses penyelesaian anak dalam menyelesaikan
masalah tidak harus sama dengan apa yang dilakukan
oleh gurunya. Akibatnya, banyak siswa yang salah
menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya, hal ini
disebabkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu
saja dipindahkan, melainkan harus dikontruksikan
atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh
siswa. Glasersfeld (dalam Paul Suparno, 1997)
Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika No. 2/XXII/2003
30 Mimbar Pendidikan
berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah suatu
barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran
yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang
belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang
guru bermaksud menstransfer konsep, ide dan
pengertiannya kepada seorang murid, maka
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan
dikontruksi oleh si murid lewat pengalamannya.
Cara lain yang dapat dikembangkan oleh guru
dalam meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah anak adalah
menyuruh siswanya untuk membuat sendiri masalah.
Hasilnya menunjukkan bahwa 50,7% guru
menyatakan tidak setuju, 15,1% menyatakan sangat
tidak setuju, 15,1% menyatakan ragu-ragu, 12,3%
menyatakan setuju, 2,7 % menyatakan sangat setuju
dan 2,7% tidak memberikan jawaban. Hasil ini
menunjukkan bahwa guru-guru jarang memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengembangkan
kemampuan anak melalui dirinya sendiri. Padahal
menurut Paul Suparno (1997) bahwa tanpa
pengalaman seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan. Pengalaman tersebut tidak harus
diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat
diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Pendapat lain yang terungkap pada penelitian
ini adalah perlunya kemampuan fakta dasar dan
prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa yang
berkaitan dengan materi yang akan diberikan melalui
pendekatan pemecahan masalah. Pendapat guru
menunjukkan bahwa 47,9% setuju siswa harus
mampu mengingat fakta dasar sebelum memperoleh
pengalaman dalam memecahkan masalah sederhana
secara informal, 31,5% menyatakan sangat setuju,
13,7% menyatakan tidak setuju dan 5,5%
menyatakan ragu-ragu. Dan untuk tingkatan lebih
lanjutpun, yakni pada pemecahan masalah, responden
umumnya menyetujui bahwa siswa tidak akan dapat
menyelesaiakan masalah sederhana selama
mereka/siswa tidak menguasai fakta dasar atau materi
prasyarat.
Hal lain yang terungkap dalam penelitian ini
adalah tidak adanya perbedaan pandangan yang
didasarkan atas jenis kelamin terhadap pemecahan
masalah dan juga tida ada perbedaan yang signifikan
yang didasarkan atas tempat mengajar guru pada
jenjang sekolah.
Kesimpulan dan saran
Dari hasil pembahasan sebelumnya diperoleh
bahwa guru berpandangan bahwa tujuan utama
mereka dalam mengajar disamping menstrasfer ilmu
pengetahuan, juga ada hal utama, yakni mengubah
perilaku ke arah yang lebih baik, tugas keseharian
yang dilakukan oleh guru dianggap sebagai suatu
tantangan untuk mengembangkan profesi, sehingga
mereka selalu siap dalam menerima perubahan atau
perkembangan dalam bidang matematika dan
pembelajarannya, sebagian besar guru telah
mengetahui dan melakukan pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah (problem
solving). Namun terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yakni : (a) Guru menganggap bahwa
tidak semua topik matematika dapat diberikan melalui
pendekatan pemecahan masalah. (b) guru
berpandangan bahwa masalah dalam pemecahan
matematika “harus” soal ceritera mengenai aplikasi
matematika. (c) guru berpandangan bahwa meskipun
pembelajaran matematika melalui pemecahan
masalah, tetapi prosedur/algortima penyelesaian
masalah masih dianggap penting. (d) guru
beranggapan bahwa pembelajaran matematika
melalui pendekatan pemecahan masalah terlalu
banyak menyita waktu. (e) guru berpandangan bahwa
fakta dasar harus dikuasai terlebih dahulu dan
menjadi prasyarat bagi pemblejaran matematika
melalui pendekatan pemeca-han masalah. (f)
pengembangan kemampuan mate-matika siswa
melalui pendekatan pemecahan masalah belum
terungkap secara jelas oleh guru. Mereka berpendapat
bahwa cara terbaik untuk mengembangkan
kemampuan siswa yakni dengan memberikan
langkah dan prosedur penyelesaian masalah.
Sedangkan hasil temuan lain adalah tidak ada
perbedaan pandangan-pandangan guru di atas baik
dilihat dari jenis kelamin maupun tingkatan sekolah.
Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini,
maka peneliti dapat memberikan saran, yakni perlu
diberikan penyegaran kembali tentang pembelajaran
No. 2/XXII/2003 Jarnawi Afgani D; Eka Fitrajaya R, Pandangan Guru Matematika
Mimbar Pendidikan 31
matematika melalui pendekatan pemecahan masalah
baik materi pemecahan masalah itu sendiri maupun
berbagai hal yang berkaitan dengan implementasi
dalam pembelajaran matematika, tersedianya bukubuku
matematika yang mendasarkan sajiannya pada
pendekatan pemecahan masalah, adanya penelitian
lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menghambat
secara internal maupun eksternal terhadap
implementasi pembelajaran matematika melalui
pendekatan pemecahan masalah pada berbagai
jenjang sekolah (mulai SD, SLTP sampai
SMU/SMK).
Kepustakaan
Branca. N. A. (1985). Mathematical Problem Solving: Lesson from the British
Experience. Teching and learning mathematical Problem Solving.
Editor: Edward A. Silver. London : Lawrence Eralbaum Associates
Publisher.
Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-
8. New York : Macmillan Publishing Company.
Beyer, B.K. Pasnak, R. (1993). Heliping Children Think Better: The
Developmental Lesson Set Approach. Journal of Research and
Development in Education. Vol. 26, No. 2, Winter 1993).
Bjorklund, D.F. (1989). Chldren’s Thinking: Developmental function
individual Differences. California : Brooks/Cole Publishing
Company.
Brown, C. A. & Borko, H. (1992). Becoming a Mathematics Teacher.
Handbook of Research on Mathematics Teaching. NCTM. Mc
Millan Publishing Company.
Cai, J., (1996). Exploring Gender Differences in Solving Open-Ended.
Psychology of mathematics Education. Proceedings of the
Seventehenth Annual Meeting. Columbus, USA: Eric Clearinghouse
for Scinece, Mathematics and Environmental Education.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar